Kehidupan

Kehidupan
Perjuangan

Minggu, 16 Mei 2010

Hutakku Hutamangodang

Hari keduaku di huta, langsung aku isi dengan agenda berziarah ke kuburan-kuburan leluhurku. Yang terdekat adalah kuburan ompungku, ompung dari bapak dan mamakku. Kami mengunjungi yang terdekat dahulu, yaitu kuburan ompung dari mamak yang terletak di Bonan Dolok, Lumban gala-gala. Seperti umumnya kuburan keluarga di daerah Toba, makam itupun di bangun dengan ukuran lumayan besar, memang aku kurang setuju dengan konsep itu, tapi aku tak punya kuasa untuk menghalangi pembuatan tugu itu dulu. Tapi,satu hal, aku tak akan mau nanti dikubur di tempat kek gitu, buang2 duit aja. (loh!kog jd marah2?).

Kami semua bekerjasama membersihkan kuburan keluarga itu. Walaupun berada dekat dengan pemukiman warga, dan masih banyak juga saudara yang tinggal di sekitar situ, tapi tetap aja tidak pernah ada inisiatif dari mereka untuk membersihkan itu. Kalau perantau atau minimal orang dari kota (dalam hal ini Balige) datang ke kampung,barulah itu dibersihkan. Setelah bersih-bersih, menaburkan bunga, marsuap dan berdoa, kamipun pamitan untuk pulang. Kemudian ziarah kami lanjutkan ke hutakku, untuk ziarah di kuburan ompung dari bapak, yaitu di Pagar Sinondi. Pagar Sinondi itu, letaknya, kalau dari Balige, itu sesudah Siborong-borong dan sebelum Sipoholon. Dan simpang masuk ke dalam huta itu, di sebelah kiri jalan. Dulunya, keluarga kami membuat plang nama di simpangnya, tapi entah ulah siapa yang mencabut plang itu, terakhir aku sudah tidak melihatnya lagi disana.

Berbeda dengan kuburan keluarga di Toba, di Rura Silindung, kuburan lebih sederhana, kami menyebutnya tambak, yaitu kuburan tanah yang hanya dibuat bentuk gundukan, kemudian dipagari sekelilingnya, dan ditanami pohon di sekitarnya. Dan uniknya, tambak keluarga kami ini, ditanami pohon nangka (bonani pinasa) di tengah2nya. Aku selalu ingin tau filosofi apa yang mendasari penanaman pohon nangka itu disitu. Disini, kami sedikit lebih kerja keras, untuk membersihkannya, karena selain banyak sekali ilalang, banyak juga daun2 berguguran. Dan sangat tidak terawat tempatnya.

letak kampung kami itu (lebih tepatnya kampung ompungku)itu adalah paling ujung, istilah Jakarta mentok dan buntu. Kampung ini memang sangat sepi. Hanya ada tiga rumah, dan tambak keluarga itu. Ketiga rumah itu, adalah rumah ompung-ompungku. Seingatku, ada namboru-namboruku yang menempati rumah itu. Dan seperti biasa, kami akan singgah do rumah mereka, dan ngobrol2. Aku memang sudah niat mengambil gambar kampungku itu. Pada saat aku mengarahkan kamera handphone abangku ke kampung,mamakku berkata ”eheh inang, marhua ma foto2on mu be i, nunga tarulang be huta i” (ngapain la kau foto2 lagi kampung itu, sudah tak ada lagi penghuninya itu). Bah! Aku kaget, lantas aku bertanya kemana namboru-namboru yang sebelumnya menempati rumah ompung itu? Dan kata mamakku, tidak tau jelasnya kemana mereka itu semua. Makin sedih hatiku. Aku lihat kampungku itu, hutakku naung tarulang i. Sebegitu dahsyatnya godaan keramaian untuk meninggalkan kampung itu. Tidak adakah rasa ingin menjaga dan memiliki dalam hati mereka? Memang daerah itu, tidak cocok dipergunakan untuk menanam padi, tapi sangat cocok digunakan untuk menanami palawija dan sayur-sayuran.Meningat letaknya yang ditengah2, mereka akan gampang kalau ingin menjualkannya ke pasar Siborong-borong atau Tarutung.Ah, tapi aku kepengen sekali tau apa alasan mereka meninggalkan huta itu. Mudah-mudahan Desember ini, aku bisa pulang lagi, dan menemukan jawaban dari semua pertanyaan, dan yang paling penting aku bisa mendapatkan solusi untuk hutakku itu.

On ma tona ni huta i, asa boanonhu soara na i tu luat pangarantoan on, anggiat dibege akka na marholong ni roha i, jou-jouni huta i. Ale tondikku, sai paingot ahu, pasahathon tona ni huta i, anggiat dapot au muse dalan na denggan lao paturehon huta i.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar